Titaniumnews : Cerpen
Karya : Tia Jupe
Sembilan taun sudah berlalu sejak hari itu, tidak ada sedikit pun ingin aku menoleh lagi ke masa itu, tapi kini di depanku seperti terpampang kembali sebuah layar monitor kisahku di sembilan taun yang lalu.
Untuk ketiga kalinya aku bertemu lagi dengan perempuan ini, perempuan yang sangat aku benci, perempuan yang pernah ku maki dan kucelakai di depan orang banyak, tapi dia bergeming, tidak membalas cacianku kala itu, tidak juga membela diri, apalagi meminta maaf, muak aku membayangkan kejadian hari itu dan sekarang setelah sembilan tahun, hal yang sama terjadi, walau tidak sedang memaki tapi sapaanku, atau jelasnya perkataanku tidak dia gubris, dia tetap bergeming. Diam, hanya diam.
“Aku hanya berharap kamu bisa mencintaiku dan menerimaku layaknya seorang istri” ucapanku terdengar pelan di depan Mas Bimo.
Terdiam.
“Aku tahu saat ini mas belum bisa mencintaiku, tapi aku janji akan selalu menunggu cintamu mas, aku janji akan selamanya di sampingmu” Ucapku.
Yaa memang begitu keadaannya, aku jatuh cinta dengan mas Bimo dari sejak kami sama sama duduk di bangku SMA, ketika orang tuaku mengutarakan keinginannya menjodohkanku dengan mas Bimo aku senang sekali, terlepas dari kerjasama bisnis di antara kedua orang tua kami, aku memang sudah jatuh cinta dengan mas Bimo.
Acara lamaran sampai hari pernikahan kami lalui dengan lancar, tidak ada sedikit pun kendala di antara aku dan mas Bimo, karena kedua keluarga dan aku pribadi dengan mas Bimo sudah saling mengenal.
Hanya satu ganjalan di hatiku, aku sering melihat mas Bimo menyendiri bila kebetulan aku berkunjung ke rumahnya, dia tidak sedekat dan seakrab saat rencana perjodohan ini belum di dengungkan. Kadang kulihat mas Bimo seperti sedang berpikir, obrolanku kadang di jawab dengan seadanya, itu pun tidak nyambung dengan yang sedang kami diskusikan. Dari situ aku tahu mulai merasakan hati mas Bimo berada di tempat lain bahkan hal itu terjadi di dalam keseharian di rumah tangga kami selanjutnya.
*****
Pesta pernikahan di gelar dengan sangat meriah, maklumlah dari segi finansial kami termasuk orang berada, kami juga merupakan anak bungsu dari masing – masing keluarga. Rekan, sahabat, kolega bisnis orang tua kami turut hadir dalam resepsi hari itu. Tidak ada yang aneh semua berjalan lancar, sampai kemudian kulihat seorang perempuan cantik berdiri di antara deretan tamu yang hendak menyalami kami, perempuan itu lebih banyak tertunduk sementara sesekali tangannya menyeka air mata, pandanganku terhenti kepadanya bukan karena dia terlihat cantik, tapi pashmina yang dikenakannya itu yang menarik mataku untuk sejenak diam terpaku, walau bukan disebut berjilbab perempuan itu menutupi kepalanya dengan pashmina ungu cerah dengan gradasi kuning hijau.
Kuperhatikan saja dari atas altar pengantin tempatku berdiri, sementara orang yang mengapit perempuan cantik itu di depan dan di belakangnya terlihat memegang tangan perempuan itu, komat kamit berbicara, sesekali melihat ke arah altar, orang yang berdiri di depan perempuan itu terkadang sebentar berbalik membetulkan letak pashmina berwarna ungu itu yang sedikit turun ke pundak perempuan cantik itu.
Pashmina yang sama persis yang aku miliki sebagai cinderamata dari mas Bimo saat acara lamaran dulu.
‘Aaahh kupikir cuma satu – satunya, karena dulu mas Bimo pernah berucap pashmina itu dia bawa sengaja saat pulang berhaji dulu dan hanya akan diberikan pada calon istrinya, sebagai benda kesayangan dari suami yang kelak akan melindungi istrinya dari ujung rambut sampai kaki.
“Heeeemmmh” aku menghela nafas, gundah karena ternyata pashmina itu dijual bebas juga, tapi akhirnya tersenyum geli sendiri dalam hati, karena memang bukan Mas Bimo satu – satu yang pergi berhaji.
Tiba di hadapan aku dan mas Bimo. Perempuan itu mengangkat wajahnya, sekarang jelas ku lihat dia memang cantik, rona merah di pipinya semakin terlihat jelas, tidak ada airmata, hanya wajahnya yang cantik sedikit pucat, dan sepertinya dia berusaha menutupinya dengan riasan make up perona merah pipi itu.
“Selamat ya Mas semoga kalian bahagia” Lirih perempuan itu berkata.
“Tatiana” Mas Bimo menyodorkan tangannya, gerak tubuhnya seperti hendak merangkul perempuan itu, tapi perempuan itu menjauh sedikit menggeserkan badannya dan menyodorkan tangannya ke arahku, tersenyum manis.
Oohh Tatiana, Tatiana, Tatiana … Nama yang rasanya tak asing di pendengaranku. Aku kembali menyalami tamu undangan lain yang masih berderet mengantri.
*****
“Jadi semua gara – gara perempuan itu, kamu berkhianat di belakang aku mas, kamu tega !” aku berteriak memaki mas Bimo.
“Pantas selama ini sikapmu semakin hari semakin dingin sama aku, pantasan kamu lebih banyak berada di luar rumah, rupanya perempuan itu, tidak tahu malu !!” Aku melempar semua barang yang bisa ku jangkau saat itu ke arah muka mas Bimo.
“Maafkan aku Arima, tapi dia lebih membutuhkan aku, dia …”
Mas Bimo tidak melanjutkan perkataannya.
“What ??” Dia lebih membutuhkanmu, dia itu siapa, aku istrimu heey empat tahun mas, sadar !!” Masih dengan suara yang tinggi.
“Nanti kamu akan tahu semuanya, beri aku waktu untuk membereskan ini” Mas Bimo mendekat ke arahku, mencoba merangkul bahuku, tapi aku menolak menepis tangannya.
Kututup wajahku menahan tumpahnya sungai kecil di antara kelopak mataku, tangisku pecah, amarahku sudah memuncak, aku sakit hati. Tiba – tiba tanpa firasat tanpa tedeng aling aling Mas Bimo suamiku tercinta, meminta izin untuk menikah lagi.
Yaa Tuhan aku hanya sanggup memegang dadaku yang mulai terasa sesak, tidak kudapatkan alasan kenapa ini terjadi begini, di empat taun pernikahan kami.
Anak. Aku mencoba mencari alasan atas keinginan Mas Bimo.
Mungkin gara – gara aku belum bisa atau lebih tepatnya dulu sempat menunda untuk mendapat momongan, tapi itu sudah seizin Mas Bimo, kami tidak akan punya anak dalam tiga taun ke depan setelah menikah, karena aku sedang merampungkan studiku di bidang kedokteran, aku ingin menjadi dokter spesialis saat itu.
Dan setelah setahun yang lalu rampung, lulus dengan nilai terbaik aku di hadapkan pada masalah seperti ini.
*****
Tetap tidak ada jawaban.
Mas Bimo hanya menjawab ‘dia lebih membutuhkan aku daripada kamu’
Selalu itu alasan kenapa Mas Bimo meminta izin menikah lagi.
Bagai api di dalam sekam, kami berdua seperti menjadi dua orang yang tidak saling mengenal, sejak malam pertengkaran kami itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Begitu pun dengan mas Bimo, entah dia dimana, kadang saat aku pulang dia belum ada di rumah, padahal jelas Mas Bimo bisa lebih cepat berada di rumah, mengingat pekerjaannya sebagai konsultan hukum bisa lebih longgar kalau dalam urusan jam kerja.
Entahlah aku mulai jengah berada di dekat suamiku itu, setiap obrolan kami selalu berakhir dengan pertengkaran.
Tak terasa setahun sudah kami tak tidur dalam satu kamar, Mas Bimo memang tidak pernah sampai tidak pulang, selarut apapun dia pasti pulang.
Seperti malam itu aku sudah lebih dulu pulang ke rumah, setengah jam kemudian aku mendengar bunyi klakson mobil di depan.
Tergopoh – gopoh mbok Darmi pembantu rumah kami bergegas ke depan halaman, dan membukakan pagar.
“Mbok siapkan baju saya dua atau tiga stel ya, jangan lupa kaos kaki dan peralatan mandi” Ku dengar Mas Bimo berkata ke Mbok Darmi.
Mau kemana suamiku itu, kulirik jam weker di meja kerjaku, hampir jam 11 malam, pasti dia akan menginap di rumah perempuan itu, seketika dadaku terkesiap panas, gemetar menahan kecemburuan.
Ya Tuhan aku biarkan bukannya dia berpikir, malah sekarang mau pergi, menginap di rumah perempuan itu, mereka pasti sudah menikah bahkan tanpa izinku lagi.
“Mas Bimooo keterlaluan kamu mas” batinku menangis.
Aku terduduk lemas, tangisku tumpah ruah malam itu.
Selepas membersihkan diri kulihat Mas Bimo masuk ke kamar kami, dia mungkin mencariku, sementara aku berdiri di teras luar, aku sengaja menunggu Mas Bimo di luar, aku tidak akan membiarkan Mas Bimo pergi malam itu.
“Arima, aku harus pergi dalam beberapa hari, aku mohon untuk kali ini kamu mengerti, Aku … hhhfftt… aku” menghela nafas, terasa berat Mas Bimo berkata.
“Kamu mau meninggalkan aku Mas ?” tergetar aku balik bertanya.
“Apa salahku, bukankah kamu bilang kamu sudah bisa mencintaiku, bukankah kamu sudah menerimaku apa adanya, dan memaafkanku tentang ketidak jujuranku di malam pertama kita … aku tidak mau kamu pergi Mas, aku belum siap berpisah denganmu” aku berhambur ke pelukan Mas Bimo.
“Apa kelebihan perempuan itu, siapa dia, kenapa dia begitu kamu bela mati – matian Mas” pundakku terguncang menangis, dan berusaha mencegah Mas Bimo pergi malam itu.
“Aku tidak pergi, aku hanya perlu berada di sisi Tatiana dalam beberapa hari ke depan, dia sangat membutuhkan aku saat ini, aku sangat berharap kamu mengerti”
Mas Bimo melepaskan pelukanku dari bahunya.
“Tatiana ?” aku menatap dalam mata Mas Bimo.
“Tatiana lagi ??!” Aku menguncangkan kasar bahu suamiku itu.
*****
Aku menangis sejadinya, menutupi mukaku dengan bantal untuk sekadar meredam suara tangisku malam itu. Sudah lebih dari tiga minggu Mas Bimo tidak pulang, sejak kepergiannya malam itu. Teleponnya pun sudah jarang di aktifkan, dia tidak menghubungiku dan tidak bisa aku hubungi, pesan singkat sms dan bbm pun hanya R tanpa jawaban, terkadang D berhari – hari pertanda pesan – pesanku itu tidak pernah lagi dia baca.
*****
“Jadi Mami tahu siapa Tatiana mbok ?”
“Mbok Darmi juga tahu dimana Tatiana tinggal ?” Dengan nada tinggi, terbawa emosi aku menatap pembantuku itu. Seperti seorang polisi sedang menginterogasi saksi untuk sebuah kasus kejahatan, detail aku menanyakan banyak hal tentang Tatiana kepada mbok Darmi.
Bergegas aku menyambar kunci mobilku yang tergeletak di meja makan, pagi itu aku tidak ke rumah sakit, semalam aku sudah izin direktur rumah sakit kalau hari ini aku izin tidak datang praktek seperti biasanya. Aku ingin masalah ini cepat selesai, aku harus merebut Mas Bimo kembali
Merebut !
Dari balik kemudi mobil aku merenung, merebut, kata – kata itu sekarang seperti sebuah ajang unjuk kemampuan, merebut Mas Bimo dari tangan Tatiana.
Mas Bimoku pria tampan berahang tegas, seorang pria blasteran Indo Belanda berdarah jawa ningrat. Pria sukses yang banyak menghabiskan waktu mengejar study dan karier, aku berpikir akulah perempuan satu – satunya yang akhirnya bisa menaklukkan hatinya. Walaupun dengan bantuan orang tuaku dalam perjodohan kami.
Tapi siapa sangka sekarang ada nama lain, Tatiana dan semua seperti tertutupi rapi.
Apa itu perempuan yang pernah kulihat tergesa – gesa keluar dari kediaman mas Bimo, dan kami berpapasan di depan pagar ? Atau … aku pelankan laju kendaraanku, mencoba menepi dan menenangkan detak jantungku yang semakin tak karuan, tanganku basah berkeringat.
Menghela nafas. “huuufftt, iya dia pasti perempuan itu, perempuan yang aku lihat photo – photonya di album photo pribadi Mas Bimo yang tersimpan di kantornya” batinku.
*****
“Puas kamu sudah memakinya, puas sekarang kamu sudah mempermalukan dan mencelakainya ?!” Suara bariton Mas Bimo mengagetkanku malam itu.
Mas Bimo tiba – tiba masuk ke kamarku dengan suara tergetar menahan amarah.
“Heuufth” aku tersenyum ketus, ada rasa puas memang di hatiku setelah tadi pagi aku menemui Tatiana.
“Kenapa kamu tidak pernah paham, saat aku bilang dia lebih membutuhkan aku untuk saat ini”
“Kenapa kamu tidak coba mengerti situasiku Arima, aku memang egois, aku salah, aku juga jahat berkali – kali menyakiti hatimu, tapi coba kamu belajar memahami keadaan”
Mas Bimo berkata pelan, duduk di tepian tempat tidur.
“Aku menyayangimu Arima, aku tidak ingin berada di posisi seperti sekarang, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Tatiana, maafkan aku, maafkan aku yang tidak bisa memilih diantara kalian berdua, aku menyayangi kalian berdua”
Lirih sedu sedan menutupi wajahnya. Itulah untuk pertama kalinya aku melihat Mas Bimo menangis.
“Ini masuk tahun ketujuh semua penderitaannya, Tatiana mengidap kanker otak, penglihatannya sudah mulai kabur, setahun ini memory ingatannya menurun, dia bahkan sudah mulai lupa siapa aku” kembali terguncang kulihat pundak Mas Bimo menahan sesak tangisannya.
“Itulah kenapa aku ingin berada di sisinya, dulu dia bahkan merelakan aku menerima perjodohan kita tanpa aku tahu dia menahan sakit hebat sendirian”
Mas Bimo berdiri menghapus airmatanya, menoleh ke arahku yang masih terkesiap terdiam mendengarkan suara Mas Bimo yang seperti kemarau siang di guyur hujan petir.
“Kejadian tadi pagi sudah membuat Tatiana benar – benar tidak bisa melihat lagi, dia buta total”
Mas Bimo berkata pelan perlahan menarik berat langkah kakinya, berlalu keluar dari kamarku.
*****
Setelah sembilan tahun berlalu.
“Paseinnya di kamar 303 kamar Maria Paviliun Anggrek Dok”
Menyodorkan berkas rekam medis, Ayudia suster penjaga pagi itu berkata memberi laporan tentang pasein yang baru masuk tiga hari yang lalu.
Dalam laporan medis itu jelas tertulis semua data biografi pasein, dan penyakit yang di idap, ada juga jenis pengobatan yang pernah dilakukan dan sebuah catatan penting.
Sebuah surat wasiat asli yang di tulis tangan, bermaterai lengkap dengan surat – surat persetujuan semua keluarga pendonor, orang berhati mulia ini mendonorkan matanya untuk pasein perempuan yang akan aku tangani, dadaku mulai sesak bagaimana tidak aku tahu betul siapa pendonor dan siapa pasein yang akan menerima donor kornea matanya.
Tanganku tergetar, kutelan ludah berkali – kali untuk membasahi tenggorokanku yang tiba – tiba terasa mengering.
Ruang Dokter yang ber-ac ini terasa begitu panas hingga membuatku gerah dan berkeringat, airmataku jatuh tanpa bisa aku tahan, menangis lemas dengan fail – fail rekam medis dalam dekapan.
Sakit, rasanya sakit sekali lima jam yang lalu aku menghadiri pemakaman Mas Bimo yang meninggal menjelang subuh tadi karena anfal.
*****
“Mendiang adalah suami pasein yang akan kamu tangani, mendiang mempercayakannya padamu, saya yakin kamu sanggup dokter Arima” Dokter kepala menepuk pundakku dengan lembut.
Aku terdiam, menatap lekat pasein di hadapanku ini, kupegang tangannya yang terlihat kurus, aura kecantikannya masih terlihat jelas di antara pucat dan wajahnya yang tirus.
“Tatiana … maaf, maafkan aku” Mengatupkan bibirku berusaha kuat, jangan sampai Tatiana mendengar isak tangisku.
Sepi, dingin, diam, membisu.
*****