Titaniumnews – Mencatut/Pencatutan berasal dari kata dasar “catut”. Menurut KBBI, pencatutan memiliki beberapa arti, antara lain:
1. Mencari keuntungan dengan jalan tidak sah. Misal dengan cara-cara menipu (tipu muslihat) dan atau mengakali.
2. Menyalahgunakan, antara lain kekuasaan, nama orang, jabatan dan sebagainya untuk mencari keuntungan diri sendiri/ orang lain/ kelompok.
Didalam KUHP ( Kitab Undang-undang Hukum Pidana) memang tidak terdapat pasal spesifik yang mengatur tentang tindak pencatutan. Hanya saja, dalam praktik pencatutan (nama, jabatan dan lain-lain) terdapat unsur penipuan. Sehingga pencatutan nama dikategorikan dalam KUHP pasal 378 tentang : “penipuan” (Buku II Bab XXV tentang : “kejahatan” :
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu , baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Pasal Penipuan dan Elemen
Penipuan, asal kata “tipu”, yakni perbuatan atau perkataan yang tidak jujur. Menipu, mengenakan tipu muslihat, mengakali dan memperdayakan. Penipu, orang yang menipu (pengecoh). Sedangkan penipuan = proses, cara, perbuatan menipu dan perkara menipu (mengecoh).
Pekerjaan penipu:
1. Membujuk orang supaya memberikan sesuatu (barang, uang, saham, hadiah, membuat utang dan ataupun menghapus piutang dan lain-lain )
2. Pembujukan, bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain dengan melawan hak
3. Pembujukan dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu atau akal cerdik (tipu muslihat) atau karangan perkataan bohong.
Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya untuk berbuat sesuatu.
Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada pelaku/penipu sendiri, sedang yang menyerahkan itupun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.
Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri atau orang/kelompok lain dengan tidak berhak.
Nama palsu = nama yang bukan namanya sendiri, tapi (melalui) nama orang lain (pejabat -non pejabat, dan sebagainya).
Keadaan palsu, misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, pengacara, notaris, pegawai negeri sipil, menteri, presiden, wapres dan sebagainya padahal nota bene dirinya bukanlah berjabatan itu , tapi berjabatan tertentu lain atau memang tidak berjabatan sama sekali.
Akal cerdik ( tipu muslihat) = suatu perbuatan tipu yang sedemikian liciknya, sehingga seseorang yang berpikiran normal bisa tertipu . Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup kelicikannya.
Karangan perkataan bohong = satu kata bohong tidak cukup. Disini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun secara sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat menutupi kebohongan yang lain. Dimana keseluruhan perkataan bohong tadi seolah merupakan sebuah cerita yang seakan-akan memang benar terjadi (kenyataan).
Sedangkan mengenai “barang tidak disebutkan pembatasan”, bahwa barang itu haruslah kepunyaan orang lain. Tapi membujuk orang untuk menyerahkan barangnya sendiri, juga dapat masuk dalam penipuan asalkan elemen-elemen lain terpenuhi.
Sehingga sebagaimana halnya dengan pencurian, penipuan yang sering dilakukan didalam kalangan keluarga sendiri , berlaku juga peraturan sebagaimana disebutkan pada pasal 367 juncto pasal 394 (pencurian dalam kalangan keluarga).
Beberapa Kasus Pencatutan Nama dan Sanksi Pidananya
Berikut disampaikan berbagai praktik penipuan melalui pencatutan nama orang-orang penting tertentu (terutama nama pejabat, penegak hukum dan lain-lain ), antara lain :
1. Pada 13 November 2013 : Polda Maluku Utara (Malut) menangkap dua orang tersangka kasus pemalsuan tanda tangan Gubernur Malut Thaib Armaiyn. Pemalsuan dilakukan untuk menyerobot lahan pertambangan milik sebuah perusahaan perkebunan di Malut.
Para pelaku penipuan/ pencatutan nama orang lain (pejabat) mana lalu dijatuhi hukuman/pidana antara 2 – 8 tahun penjara.
2. Pada 23 Juli 2013 : Hanung Bramantyo, produser dan sutradara film nasional terkenal pernah melaporkan adanya penipuan yang dilakukan orang lain dengan mencatut namanya. Polisi lalu menangkap para pelaku saat melakukan aksi kejahatannya di Senayan City Jakarta Pusat.
Modus operandinya, pelaku membuat akun palsu di facebook mengatasnamakan Hanung . Lewat akun palsunya pelaku lalu mencari sasaran, yakni orang-orang yang ingin menjadi artis sebagai korbannya. Pelaku meminta para korban untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu dan bersedia di foto seksi. Pelaku digrebek Polisi disebuah ruang karaoke dan menciduk pelakunya yang belakangan diketahui bernama/berinisial DNB, dan dihukum penjara selama 3 tahun (melanggar pasal 367 KUHP, Pasal 310 KUHP, 311 KUHP dan Pasal 27 dan 49 UU ITE ).
3. Pada 19 Juni 2015 Polda Metro Jaya menjerat 8 tersangka pelaku yang diduga merupakan sindikat penipu melalui dunia maya dengan menggunakan/mencatut nama-nama pejabat negara dan kepada mereka diancam hukuman maksimal 8 tahun penjara.
Para tersangka pun ditangkap di di Beji, Depok dan di Serpong, Tangerang Selatan. Disita sebanyak 315 kartu ATM dari berbagai bank. 44 buku tabungan dari beragam jenis bank. 20 unit telepon genggam. 2 unit laptop. 1 unit modem internet. 45 lembar KK, 5 unit sepeda motor berikut uang tunai senilai Rp. 6,8 juta.
Para pelaku mana kini sedang dalam proses hukum dan dijerat dengan pasal berlapis. Pasal 378 KUHP dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara, pasal 264 ayat 2 KUHP subsider dan pasal 263 ayat 2 KUHP dengan ancaman kurungan maksimal 8 tahun !.
Pencatutan Nama Presiden & Wakil Presiden
Berawal ketika Menteri ESDM (Enerji & Sumber Daya Mineral ) Sudirman Said melaporkan Ketua DPR SN ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Menduga kuat bahwa telah terjadi pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport pada 16 November 2015 lalu.
Menteri ESDM mengatakan, SN yang adalah politisi sekaligus pengusaha itu meminta saham PT. Freeport sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan re-negosiasi perpanjangan kontrak dengan PT Freeport, padahal sesuai ketentuan kontrak baru berakhir pada 2019 yang akan datang. Hingga beredar transkrip tiga halaman yang diterima kalangan media. Sejumlah inisial disebutkan sebagai pihak yang bertemu, di antaranya adalah SN. Selain itu, transkrip juga menyebut sejumlah nama tokoh pemerintahan didalam perbincangan itu meski kebenaran transkrip sendiri belum di/ter-konfirmasi.
Menteri ESDM melaporkannya kepada MKD dan belum melaporkannya ke Polri agar diselesaikan dulu secara politik baru secara hukum. Hal mana sah-sah saja sekaligus menguji kualitas dan kredibilitas MKD , apakah mereka ini bisa dipercaya masyarakat atau tidak (?).
Kesimpulan
Bila mengacu kepada 3 kasus soal pencatutan nama seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain/kelompok sebagaimana telah dikemukakan diatas, berharap KPK, Polri dan Kejaksaan Agung dapat segera bersinergi untuk menyelidiki/menyidik kasus besar dan memalukan tersebut.
Supaya cepat tuntas, transaparan dan benar atau tidak bahwa telah terjadi dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres dalam kasus perpanjangan kontrak PT. Freeport ?. Kalau tidak benar , tentu harus sesegeranya memulihkan nama baik SN. Sebaliknya, jika memang benar, harus segera diproses hukum dan dipecat dari jabatannya di DPR.
Selain itu, didalam prinsip hukum pidana, dimana bukan hanya perbuatan pidananya yang dapat dihukum, perbuatan melakukan “percobaan untuk melakukan pidana”, sekalipun tak tercapai/gagal karena sesuatu hal , dapat dipidana.
Hikmah dari kasus pencatutan nama ini, kiranya dapat membuat kapok/jera para oknum pejabat (tinggi) lain yang ternyata masih saja tinggi libido bertahta dan berkorupsi (suap, gratifikasi )-nya. ***
Oleh Tigor Damanik SH
Penulis: Alumnus FHUI, tinggal di Medan.
Sumber : Harian.analisadaily.com