Sepertinya hati ini harus terlebih dulu benar-benar patah, sebelum ia begitu yakin untuk berubah arah. Perasaan ini harus berada pada titik paling lelah karena banyak dikecewakan, hingga terbesit di kepala untuk benar-benar ingin menyerah.
Sampai rasa sakit yang kerap tercipta menjadi biasa, tanpa perlu lagi saya adukan kepada Tuhan. Barangkali, mencintai dengan tulus pada seseorang yang tidak bisa terbuka sepenuhnya bahkan untuk dirinya sendiri adalah salah satu alasan kenapa sering kali muncul begitu banyak pertanyaan yang ingin segera diberi jawaban.
Peraduan di sepertiga malam yang sering dilakukan tak kunjung menemukan titik terang. Padahal saya sangat tidak ingin mendebat kehendak Tuhan. Hanya saja, saya butuh tahu apakah seseorang yang saya cintai dalam 4 tahun terakhir ini akan menjadi titik akhir pencarian atau justru menjadi titik balik saya dalam memandang kehidupan.
Karena jika saya diskusikan pada Tuhan; dia justru sering kali mengecewakan, seperti tidak ada kuasa Tuhan dalam setiap tindakan yang dia putuskan. Tapi perasaan di hati saya tak kunjung padam. Tak kunjung berbalik arah. Padahal sudah sebegitunya penuh lebam.
Apa Tuhan menunjukan kuasanya bahwa dia tidak baik dan bukanlah pilihan-Nya untuk saya? Atau saya yang terlalu keras kepala dengan memaksakan agar ekspetasi bisa sejalan dengan kenyataan? Meski hingga detik ini saya menuangkannya pada tulisan, jawaban itu sama seperti harapan yang sudah-sudah— mengecewakan.
“Saya tahu Tuhan baik. Ia tidak tidur dan mendengar doa saya. Orang-orang terdekat pernah mengatakan bisa jadi Tuhan sedang mempersiapkan jawaban yang melebihi segala harapan yang saya ajukan. Jauh lebih baik dari yang diidamkan. Mungkin saja itu benar.
Tapi sepertinya, yang Tuhan siapkan tetap akan mengecewakan.”
Untuk menjadi manusia, merasa terluka rasanya biasa.
Untuk bersedih dan menangis bukanlah kesalahan fatal saat sedih menyapa.
Untuk menjadi manusia, rasa sakit dan bahagia harus dirasakan juga.
Karena menjadi manusia adalah itu semua. Kadang sesekali rasa takut di dada bersarang. Tidak ingin berduka atau meremang sendirian. Ragu untuk melangkah dalam menentukan arah. Hingga justru kesedihan menjadi teman setia selamanya. Setelah mengenal dia, hingga berani menjatuhkan hati begitu dalam justru membuat saya terasa benar-benar merasakan kehidupan.
Ternyata menjadi manusia tidak semenakutkan prasangka. Kecewa, terluka, jatuh, bangkit, semangat, lalu jatuh lagi sudah khatam saya lalui prosesnya. Hanya saja saat ini yang jadi pertanyaan saya adalah bahagia sejati itu seperti apa?
Karena saya hanya merasa lebih nyaman menghirup udara, bercerita panjang lebar, dan tertawa ketika bersama dia. Selebihnya hidup saya biasa saja, hanya sesekali merasa semangat ketika dia menyambut hangat ketika embun justru belum hilang dari banyak tanaman di halaman belakang. Bagi saya, bahagia itu dia. Tapi tidak sebaliknya.
“Beberapa hal yang semesta tawarkan kadang tidak terduga. Kadang sedih lebih sering bercengkrama, duka mudah bertamu tanpa kamu tahu bagaimana caranya menutup pintu.
Bahagia lahir pada hal-hal kecil saat kamu bersantai memandang dunia. Waktu untuk bisa bersama dia selama-lamanya adalah hal tidak terduga yang saat ini sedang saya nantikan kedatangannya.”
Dalam hidup, banyak sekali orang yang terluka, pun bahagia.
Saya sadar, di bumi ini bukan cuma saya yang memiliki perasaan. Mereka juga sama. Bisa sakit, kecewa, bahagia, menangis semalaman, bahkan tertawa seharian. Tapi dia, seseorang yang saya cintai apakah merasakan hal yang saya rasakan juga?
Sedih dan hampa saat tidak bersama, bahagia saat bisa duduk berdua dan begitu dekat saling memandang mata dari masing-masing kita, bahkan sesekali merasa disia-siakan atas usaha yang justru begitu diperjuangkan.
Sepakat ataupun tidak, ketika dia sering kali ingin berdebat hanya karena masalah sederhana, ada hati yang terluka; karena hubungan yang baik tidak terus-terusan memendam bara. Tidak memilih lari dibanding berkompromi. Tidak memilih pergi dibanding belajar untuk lebih memahami.
“Kedatangan seseorang yang diharapkan pasti membahagiakan.
Kehilangan seseorang yang penting jadi bagian yang paling sering orang takutkan. Saya pernah merasa kehilangan saat ditinggalkan berkali-kali, tapi membayangkan dia pergi saja rasanya tidak pernah siap. Hanya saja ketika bertahan, saya saja yang mempertahankan. Dia sepertinya enggan”
Memaksa untuk dicintai rasanya tidak adil.
Ketika muncul selentingan rasa di dada saat dia bersama orang lain yang menurutnya berharga justru membuat saya sadar.
Saya memang tidak layak dicintai sepenuh hati. Saya memang tidak punya apa-apa untuk dia banggakan pada kerabat dekat hingga keluarganya. Saya hanya punya keberanian berjuang dan keteguhan hati dengan mencintai dia meski berkali-kali dilukai.
Tidak banyak yang saya tawarkan agar dia mau bertahan. Meski saat ini tak mampu memberi sesuatu berupa materi, setidaknya saya selalu berusaha memberikan waktu yang saya punya. Memberikan sesuatu yang justru tidak bisa dibeli dengan apa-apa. Menawarkan sesuatu yang justru harganya tidak terhingga. Tapi, dia menolaknya. Lalu saya bilang, “tidak apa-apa”.
Padahal saat itu mata saya rasanya sangat perih untuk tidak mengeluarkan airnya. Degup jantung melambat karena terasa ada hantaman begitu keras pada ulu hati hingga kaki sulit sekali menopang tubuh untuk terus berdiri. Sejak saat itu, saya sadar sekeras apapun usaha yang kamu lakukan, seberat apapun kamu perjuangkan, jika tidak diharapkan tak akan berarti apa-apa baginya.
“Justru yang dicari pergi. Yang ditunggu tak kunjung datang.
Malah hal-hal yang tidak ingin kamu sambut sama sekali malah lebih sering kamu temui. Sesuatu yang berharga sulit ditemukan.
Sesuatu seperti dia, meski mengecewakan tapi di sisinya ada tenang yang tak bisa saya jelaskan.”
Tahun depan, sepertinya tepat 5 tahun saya menjatuhkan hati padanya. Entah keberapa kalinya saya merasa disia-siakan tiap kali saya menyadari akan bertemu tanggal di mana saya jatuh hati. Perdebatan panjang dengan Tuhan malah lebih sering saya lakukan. Justru intensitas komunikasi dengan dia yang saya cintai mulai saya kurangi.
Perasaan cinta saya masih sama. Tapi sepertinya lebih dewasa. Ketika saya sadar tidak bisa memberikan bahagia yang dia harapkan. Tidak bisa memberikan kenyamanan yang terus-terusan dia cari. Dan bahkan kemungkinan hanya akan membatasi ruang gerak dan mengerdilkan bahagia yang seharusnya dia dapatkan membuat saya lebih rela melepasnya.
Dengan siapapun dia sekarang, sejarang apapun komunikasi yang dijalin, saya hanya berharap dia selalu bahagia. Akhirnya juga ingin saya jadi bertambah satu; jika memang dia memutuskan pergi dan tak pernah kembali, saya harap bahagia yang dia dapat melebihi bahagia ketika bersama saya. Dan jika boleh memastikan padanya, saya minta itu saja.
Pastikan saya tidak akan merasa disia-siakan kembali karena saya tahu dia malah lebih sering bersedih setelah memutuskan pergi. Seandainya dia yang saya ceritakan adalah kamu yang sedang membaca hingga bagian akhir tulisan ini, tolong ya, pastikan di tahun ke 5 nanti atau mungkin bisa sejak esok hari.
“Menjadi dewasa terkadang tidak menyenangkan. Ada perasaan yang sangat perlu dipertimbangkan. Mencintai seseorang tanpa kepastian juga menjadi sesuatu yang menyesakan.
Tapi menjadi dewasa dengan melihat dia menemukan bahagia yang jauh lebih daripada saya justru terasa begitu menjanjikan; bahkan untuk saya jadikan cerita pada dunia. “Dia” yang masih saya cintai dengan sungguh meski kata kita tak pernah menjadi utuh.”
Penulis : Alvin Noor Syawal